Alexithymia sebetulnya bukanlah suatu diagnosis klinis, melainkan bagian dari kepribadian seseorang. Kondisi ini membuat orang tersebut tidak mampu mengenali, mengidentifikasi, dan mendeskripsikan emosi diri sendiri maupun orang lain.
Seseorang dengan alexithymia akan sulit membedakan antara emosi yang dirasakan dengan emosi yang diekspresikan. Misalnya, ketika orang tersebut mengalami kondisi yang mengecewakan, ia tidak terlihat kecewa, marah, atau cemas. Bahkan mereka tidak tahu emosi apa yang dirasakannya. Jadi, jika wajah mereka tampak marah dan orang lain menanyakan hal tersebut, mereka akan mengelak.
Gaya berkomunikasi orang dengan alexithymia cenderung logis dan harfiah. Mereka tidak akan memasukkan refleksi perasaan ke dalam setiap ucapannya. Sebaliknya, mereka akan membahas hal-hal faktual dengan kering, tanpa emosi. Biasanya orang dengan alexithymia tidak bisa menikmati novel, pertunjukan, atau film yang berfokus pada emosi.
Berhubungan seksual dengan orang alexithymia akan terasa sangat mekanis dan canggung. Orang dengan alexithymia dapat mempelajari teknik-teknik seksual, tapi cenderung tidak spontan dalam melakukannya.
Menurut the Scandinavian Journal of Psychology, seseorang dengan
alexithymiamemiliki tendensi lebih tinggi untuk mengalami gejala fisik, seperti mudah lelah, nyeri pada badan, serta pegal-pegal. Mereka juga sering menjadikan alkohol atau makanan sebagai pelampiasan emosi. Kondisi-kondisi tersebut kemungkinan disebabkan oleh ketidakmampuan mengekspresikan
emosi.
Dari penelitian lain juga disebutkan bahwa alexithymia berkaitan dengan berbagai masalah kesehatan, seperti hipertensi, migrain, tinitus, gangguan tidur, gangguan makan, penyalahgunaan obat, depresi hingga gangguan mental lainnya.
Studi yang dipublikasikan di the American Journal of Psychology pada tahun 2017 melaporkan, orang alexithymia dapat mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini dikarenakan mereka sulit memahami, merespons, dan kurang peka dengan masalah yang dialami orang lain. Oleh karena itu, orang lain akan menilai orang alexithymia sebagai orang yang sulit berempati.
Penelitian lain yang dimuat di the Journal of Counseling Psychology pada bulan Januari 2018 menemukan, orang alexithymia kurang dapat bersosialisasi dengan orang lain. Mereka menghindari, malu, dan sulit dekat dengan orang baru. Hal ini terutama dialami oleh pria.
Penyebab alexithymia
Alexithymia dapat terjadi karena beberapa alasan. Ketika anak dibesarkan untuk memiliki kepercayaan bahwa mereka tidak boleh menangis, tidak boleh terlihat cengeng, atau harus terlihat kuat, maka ketika beranjak besar akan menjadi sulit mengekspresikan emosi dan kurang berempati.
Di samping itu, alexithymia juga bisa disebabkan oleh adanya trauma. Misalnya trauma fisik, trauma verbal, trauma emosional, atau pelecehan seksual.
Kondisi tertentu seperti adanya cedera otak (akibat trauma atau benturan) juga dapat menyebabkan seseorang menjadi alexithymia. Ketika terjadi cedera kepala, maka dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf dan impuls di otak. Sehingga emosi yang dialami dan respons yang diekspresikan menjadi tidak sesuai.
Tak hanya orang yang mengalami cedera otak, orang dengan riwayat Parkinson juga bisa mengalami alexithymia.
Wajah datar, lempeng, dan sulit mengekspresikan emosi bisa jadi merupakan pertanda
alexithymia. Jadi jika Anda memiliki teman yang demikian, jangan buru-buru menghakimi bahwa ia tidak berempati atau malas bersosialisasi. Bisa jadi
alexithymiayang dialaminya dikarenakan masalah tertentu di masa lalu atau adanya penyakit serius.